16. Badai
“Ayo semua berpakaian tebal. Berita di radio mengumumkan ada
badai besar menuju tempat kita,” George memperingatkan.
Ya, Ali sudah melihat perubahan cuaca itu, terasa semakin
dingin. Di taman, daun-daun cantik warna merah, kuning dan keemasan bertebaran,
jatuh menutupi jalan-jalan dan rumput.
Beberapa hari ini, angin tak seperti biasanya.
“Pakai jas hujan kalian,” kata Caroline pada anak-anaknya.
“Jika badai benar-benar buruk, sekolah akan memulangkan
murid-murid lebih awal.”
“Ya, kuharap itu benar-benar terjadi,” Sahut Reynolds.
“Jika kalian nanti dipulangkan, telepon ibu segera dan jangan
kemana-mana,” tambah Caroline.
Benar juga, badai besar sampai di New York City. Bahkan ia
punya nama, Badai Hazel. Anak-anak dipulangkan lebih awal. Sulit rasanya
berjalan dengan angin dan hujan yang seolah dituangkan ke seluruh penjuru kota.
Caroline pulang lebih awal, mengambil surat di weselbor lobi
lalu ke atas mencari anak-anaknya yang sedang menonton badai dari jendela ruang
tamu.
“Wow, Ibu kau hampir takkan bisa melihat apapun di luar sana.
Hujan dan angin begitu besar,” ujar Reynolds.
“Ya, bahkan taman pun tidak terlihat. Lihat Ibu, jendela
tampak buram dan dengarlah gemuruh angin itu,” seru Ali yang begitu senang
ibunya bersama mereka.
“Ini adalah yang paling ganas. Walau demikian, ibu ingin kalian mengerjakan
PR sekarang. Ibu mau mengurus pakaian yang basah dan membuat coklat panas untuk
kita,”
“Dengan marshmallow?” tanya Ali.
“Tentu,” sahut ibunya.
Caroline menyalakan televisi, tapi salurannya sangat jelek
karena badai. Ia pun menghidupkan radio, lalu duduk di meja dengan surat dan
cokelat panas. Saat memilah surat-surat tagihan, dilihatnya sebuah surat yang
ditujukan kepada George Spain dari seseorang bernama Marsha O'Mara. Ingatannya langsung
mengacu pada ‘Marsha Darling’ —yang disebut-sebut Reynolds. Hatinya bertanya-tanya tentang isi surat itu.
Sementara anak-anak mengerjakan PR, Caroline memutuskan
membuka surat itu. Setelah membacanya, ia mulai menangis sehingga menyebabkan
anak-anaknya terkejut.
“Ada apa Bu?” tanya Reynolds. Caroline cepat-cepat
menyembunyikan surat itu dan mengatakan bahwa perubahan dalam hidupnya akhir-akhir
ini terkadang membuatnya emosional.
***
Badai yang berembus kencang di sekitar apartemen mereka
membuat sulit tidur malam itu. Walau akhirnya Reynolds tertidur, tapi mata Ali
masih terbuka lebar ketika terdengar ayahnya menutup pintu depan dan berjalan
melewati kamarnya. Dia ingin mendapat dan memberikan ayahnya pelukan, tapi
sudah terlalu malam. Jadi dia tetap
berdiam di tempat tidur kecilnya yang hangat dan mendengarkan percakapan orang
tuanya.
“Badai yang sangat besar, Sayang! Aku basah kuyup sampai ke
tulang. Apakah kau membuat kopi panas?” tanya George.
“Mungkin Marsha Darling bisa membuatkan untukmu.” jawab
Caroline dingin. Ali bisa mendengar
semuanya, tapi menurutnya tak masuk akal baginya, bahwa seseorang bernama
Marsha harus membuatkan kopi untuk ayahnya.
“Kamu bicara apa sih?” tanya George.
“Aku membaca surat ini. Kupikir tak butuh daya pikir untuk
sekedar memahaminya.”
Caroline memberikan
surat itu, setelah satu atau dua menit, George mengatakan
“Aku tak tahu apa yang harus kukatakan Caroline.”
“Mungkin kita perlu waktu untuk berpikir tentang banyak hal
George. Kau bisa tinggal di hotel malam ini sampai kita bisa bicara tentang semuanya.”
Ali bisa mendengar jejak ayahnya saat meninggalkan apartemen
dan menutup pintu. Dia
benar-benar
bingung. Mengapa ayahnya malah keluar lagi dalam badai yang mengerikan? Mengapa
ia akan kembali ke hotel? Mengapa orang tuanya perlu bicara tentang segala hal?
Terdengar suara angin menderu dan mengguncang jendela kecil di kamar tidur. Ali
turun dari tempat tidur dan berlari ke ruang tamu, tempat ibunya biasa tidur.
“Kenapa kau bangun Ali? Masih terjaga?” tanya ibu
mengejutkannya.
“Angin membuatku takut. Kenapa ayah keluar lagi?”
“Kau bisa tidur denganku malam ini, Sayang. Kemarilah
dan tidur, kita akan membicarakannya besok.”
Ibunya menarik selimut untuk menutupi putrinya dan memeluknya
erat-erat sampai mereka berdua akhirnya tertidur.
Keesokan paginya Caroline menjelaskan kepada anak-anaknya
bahwa ayah mereka pergi untuk sementara, sampai semuanya membaik.
“Semuanya tentang apa Bu? Ali benar-benar bingung.
“Semua hal-hal yang berbeda. Beberapa masalah orang dewasa
dan kau belum mengerti, Ali. Nah
sekarang, kalian berdua. Cepatlah kenakan sepatu karet dan jas hujan untuk
berjaga-jaga Cuaca cukup bagus pagi ini. Sampai jumpa nanti saat ibu pulang
kerja.”
Reynolds hanya mendengarkannya ia pun bingung. Hingga
sepulang sekolah, Ali mengatakan pada kakanya apa tentang semalam didengarnya.
“Marsha Darling ya.” tanggap Reynolds sedikit menyeringai.
“Dia wanita lancung yang bernyanyi dengan ayah.” terang
Reynolds. “Ayah suka Marsha Darling.” tambahnya.
“Ayo, kita pergi ke gedung pertunjukkan dan melihat apakah
ayah disana. Siapa tahu mereka sedang latihan.” ajak Reynolds pada adiknya.
Mereka berjalan menuju gedung pertunjukkan. Ali masih mencoba
memahami percakapan orang tuanya tadi malam. Sedangkan Reynolds geram pada
ayahnya.
“Mengapa dia meminta kita pindah ke New York, kalau dia
begini?” desis Reynolds. Ali tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya mengikuti
kakaknya. Ketika mereka sampai ke pintu gedung pertunjukan, Reynolds bertanya pada
seseorang apakah ada ayahnya di sana. “Oh, tidak ada Nak, sepertinya dia sedang
di restoran seberang jalan.”
Anak-anak menyeberang jalan dan melihat dari luar jendela.
Ayah mereka sedang duduk di samping seorang wanita berambut merah yang menangis
dan memegang tangannya
“Nah, itu dia Marsha Darling.” desis Reynolds muak.
Ali bertanya-tanya mengapa wanita itu menangis. Apa ayahnya
yang membuatnya menangis? George dan Marsha tidak menyadari mereka berdiri di
sana.
“Ayo, kita pergi dari sini.” ajak Reynolds. Ali membuntut di belakangnya.
Ali tidak melihat Reynolds menyeka air matanya.
George kembali menempati Hotel Preston, ia pun menjelaskan pada
dua anaknya walaupun ia dan Caroline dalam masalah. Ia tetap menyayangi mereka.
Reynolds kecewa dengan ayahnya dan lebih sering menghindar, tapi Ali
merindukannya. Rasanya baru sebentar mereka bersama, tak lama ayahnya pergi
lagi.
Suatu hari George mengajak Ali ke Central Park. Mereka
berjalan di sepanjang jalur yang terdapat patung penulis terkenal di setiap
sisinya. Salah satu favorit Ali adalah patung seorang laki-laki yang duduk
dengan anjingnya. Jika dia berjinjit dan berpegangan pada ekor anjing dan
sepatu kanan pria yang memangku sebuah buku. Maka dia bisa memanjat patung itu.
“Ngapain di sana dengan Sir Walter Scott?” tanya ayahnya. “Lebih
baik turun atau kau bisa ditangkap.” canda ayahnya.
Saat mereka meneruskan jalan-jalan lagi, ayahnya
bersenandung. Kadang-kadang menyanyikan
lagu-lagu pertunjukan dengan orang-orang di sekitar yang memperhatikannya.
“Orang-orang menatapmu Yah.” lapor Ali malu-malu.
“Tak apa-apa Pumpkin. Ayah seorang penyanyi dan ini New York.
Tak ada yang peduli kau mau bernyanyi atau jungkir balik.” katanya sambil
tersenyum. Kemudian ayahnya mendudukkan Ali di sebuah bangku, ia mundur
beberapa langkah dan membungkuk hormat.
“Ayah tahu ini lagu favoritmu.” ujarnya. Ayahnya mulai
menyanyikan lagu “Rhymes Have I” sambil berakting seolah-olah sedang di atas
panggung. ia melanjutkan nyanyiannya sampai sambil jalan-jalan. Beberapa orang
yang duduk di rumput dan bangku di dekatnya bertepuk tangan.
“Terima kasih . Terima kasih banyak.” ucap George.
Mereka pun berjalan kembali ke arah taman bermain di mana Ali
bisa mendaki batu bersama bersama ayahnya. Ia memanjat bebatuan seperti kambing
gunung, lalu bergegas turun lagi sementara ayahnya menonton. Selanjutnya, Ali
mengajak ayahnya ke ayunan dekat pagar. Mula-mula ayahnya mengayun sebentar, kemudian
ia duduk di sampingnya.
“Sayang, aku minta maaf tentang hal-hal yang mulai membuatmu
bingung.” ayahnya mulai berbicara serius. Hubungan Ibu dan ayah sedang tidak
baik. Ayah yakin kau telah menyadarinya. Itu bukan salahnya. Tentu saja itu
salah ayah. New York begitu menakjubkan, tapi mungkin bukan tempat yang baik
bagi kita. Kau tahu kan ayah sudah
pindah ke hotel. Kau bisa mengunjungi ayah. Teleponlah, dan ayah akan siap
disana.
“Oke Yah.”
“Ayah tahu Reynolds kecewa denganku. Kalau kamu gimana
Pumpkin?” tanya ayahnya.
“Aku menyayangimu.” cuma kalimat itu yang ada di pikiran Ali. Ayahnya mengulurkan tangan dan mengambil
sepotong tali kecil dari arena tempat bermain dan mulai menyanyikan sebuah lagu
dari pertunjukkannya “Kismet” dengan suara keras. Ali sama sekali tidak yakin
nyanyian itu menceritakan tentang apa. Tetapi ia sangat senang mendengarkan dan
menonton ayahnya berpura-pura bernyanyi di panggung. Pada lirik terakhir lagu,
ia meraih tangan Ali dan mereka mulai berjalan kembali ke 59th
Street menuju Osgood.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar