15. Apartemen Kecil di
Kota Besar
George telah kembali dari suatu keperluan dan tiba di apartemen
tak lama setelah insiden ‘Paman Bill’. Mereka berdua mendapat masalah, Reynolds
meninggalkan Ali sendirian dan Ali berbicara
dengan orang asing.
“Apa hal pertama yang ayah katakan pada kalian?” tegas George.
“Buddy System!” serunya keras, menatap bergantian pada Reynolds dan Ali. Kita
disini baru satu minggu, dan sekarang?” ia menggeleng-geleng dalam kekecewaan.
“Mari kita lihat di mana orang gila ini biasa berkeliaran,”
ajak ayah mereka marah.
“Kejadian ini untuk pengalaman,” katanya berpaling kepada Ali
“sebagai pelajaran, jangan pernah membiarkan seseorang menyentuhmu seperti itu,
mengerti?”
“Ya, Ayah.” jawab Ali dengan bibir gemetar dan hampir
menangis.
“Tidak usah menangis, Pumpkin.” Ayah ingin kau baik-baik saja.
Bersikaplah waspada di mana dan siapa pun
yang sekitarmu, paham?
“Ya, ayah.” Ali merasa dia telah mengecewakan ayahnya. Dengan
cepat mereka meninggalkan hotel dan bergegas ke taman untuk menemukan ‘Paman
Bill’.
“Orang gila ini pasti mendekat di mana ada anak-anak.” kata
ayah mereka geram. Mereka berkeliling mencari orang tua itu, tetapi tidak
menemukannya. Ketika Caroline kembali ke hotel, ia pun diceritakan kejadian
tadi.
“Kamu baik-baik saja kan Sayang?” cepat-cepat ibunya menoleh
ke Ali.
“Aku baik-baik saja ibu,” jawab Ali gelisah di kursinya.
“Dan kau, Reynolds. Apa yang ibu katakan pagi tadi?” Caroline
kesal pada putranya.
“Ibu menyuruhku menjaga Ali dan langsung ke sekolah dan aku
melakukannya.” jawab Reynolds mencoba berkelit dari kesalahannya.
“Jangan berlagak pintar denganku, tuan, " tukas Caroline.
“Kau membiarkan mereka berjalan sendiri ke sekolah pada hari
pertama?” George melihat istrinya.
“Kami tadi semua hampir terlambat…..”
“Terlambat? Kau selalu terlambat. Seharusnya kamu mempersiapkan
terlebih dahulu, terutama untuk anak-anak, dan….”
“Jangan mengajariku tentang mengatur anak-anak, George. Kau
tidak pernah pulang dan tidak dalam posisi….”
Hal ini berlangsung sedemikian rupa. Ali dan Reynolds duduk
di meja mendengarkan mereka bertengkar, dan mulai berpikir betapa berbeda
semuanya dari apa yang mereka kira. Ali membayangkan keluarganya bersama-sama akan
meyerupai gambar dalam buku Dick dan Jane. Atau sebuah keluarga di televisi di
mana semua tampak tersenyum dan bersenang-senang.
Reynolds tidak suka ayah kecewa padanya. Ayahnya tidak pernah
bersamanya cukup lama. Sekarang, ia malah mendikte apa harus dilakukan dan
memarahinya. Dia mengusir orang tua gila itu ‘Paman Bill’ dan menyelamatkan Ali,
tetapi tak seorang pun ingat bagian itu.
***
Oktober segera tiba dan keluarganya pindah ke Osgood
Apartments. Jauh lebih nyaman daripada Hotel Preston. Ada kanopi membentang
dari jalan masuk ke apartemen. Seorang pria berseragam membuka pintu depan yang
besar untuk orang dewasa, tetapi jika yang masuk Ali dan Reynolds saat pulang
dari sekolah, dia tidak mau repot-repot.
Di dalam bangunan ada ubin indah dan batu yang melapisi segala
sesuatunya, dinding, lantai, dan langit-langit. Pintu yang terbuka otomatis, dinding dengan dominasi warna
merah dan emas. Seribu kali lebih cantik dari yang ada di Hotel Preston.
Kelihatan seperti dalam film.
“Kita ke arah mana Bu?” tanya Ali ketika mereka pertama kali
melangkah ke lobi. Reynolds sedang bersama ayahnya di gedung pertunjukkan.
“Ayahmu mengatakan di sisi sebelah kiri ada lift dan naiklah
ke lantai 7.”
“Tapi tidak ada ada lift juga di sebelah situ.” kata Ali.
Saat itu seorang pria yang mendengar percakapan mereka, menatap Ali dan
berkata.
“Oh tidak, itu liftku, kamu tidak bisa menggunakannya gadis
kecil.” Dia tertawa terbahak-bahak
kemudian bergegas keluar ke pintu depan lobi.
Wanita di meja depan bertanya kepada Caroline apakah dia tahu
orang yang baru saja berbicara dengan Ali.
“Maksudmu lelaki berambut abu-abu keriting yang mengatakan
kepada kami untuk tidak menggunakan liftnya? Dia hanya bercanda dengan Ali,” kata Caroline.
“Itu tadi Mr. Leonard Bernstein, musisi besar dan pemimpin
orkes.”
“Benarkah? Aku harus memberitahu suamiku ketika kami bertemu nanti,”
balas Caroline sembari berjalan menuju lift di sisi kiri lobi.
“Ibu bisakah aku menggunakan tangga?” pinta Ali.
“Sampai lantai 7?” ibunya ragu.
“Aku yakin bisa mengalahkanmu Bu!” Ali meyakinkan, siap
menghadapi tantangan.
“Nah, liftnya belum datang. Silakan. Lihat! Apakah kamu punya
cadangan energi sampai waktunya tidur,” tantang ibunya.
Ali melesat menaiki tangga, memegang pegangan mahoni indah
dan melompat dengan pesat, melewatkan beberapa langkah saat menaiki tangga yang
elegan. Lantai pertama, kedua, ketiga.
Ali menatap sekilas kursi kulit besar di lantai dasar dimana
pelayan lift duduk-duduk di sela pekerjaannya. Dia terengah-engah, tapi terus bergegas.
Lantai 4, 5 6. Saat ia mencapai lantai
7, pintu lift terbuka dan keluarlah ibunya.
“Satu sama.”seru Ali, sangat bangga pada dirinya, walaupun
sampai kehabisan napas.
Sekarang waktunya menemukan pintu apartemen mereka, 7Q.
Dimana-mana ada pintu. Sekali lagi Ali memikirkan
buku favoritnya, ketika Alice menemukan koridor penuh pintu.
“Itu dia, Sayang.”
“Ini dia rumah barumu.” ujar Caroline pada putrinya saat ia
memutar kunci dan masuk ke dalamnya. Apartemen merupakan tempat yang sangat
berbeda untuk ditinggali, sungguh jauh dari rumah mereka di River Street.
Dari sini tampak beberapa gedung yang menghadap Central Park
dan kita juga bisa melihat sebuah kastil. Ali
berencana kapan-kapan mengajak Reynolds menjelajah dan berjalan-jalan sepanjang
jalan ke kastil.
Di ruang tamu ada sofa, kursi, sebuah televisi kecil dan meja
makan kecil di samping jendela. Ada juga piano (punya Madame Fifi yang
tertinggal ketika ia pindah) dengan pemutar piringan hitam di atasnya. Tirai panjang
kemerahan tergantung pada setiap jendela besar yang menghadap ke taman dengan
radiator di bawah jendela untuk menjaga agar apartemen tetap hangat selama
musim dingin. Lantainya terbuat dari kayu berbentuk kotak-kotak kecil yang
indah dengan karpet besar dengan desain kisaran merah, hitam dan emas. Terlintas
di benaknya bahwa segala sesuatunya tampak mini, tapi nyaman. Di kamar tempat
ia dan Reynolds akan tidur, diletakannya Smokey Bear. Reynolds sudah memasang tulisan
“Dilarang Masuk”(Terutama untuk adiknya).
Kamar mandi di sana sangat kecil, lantainya terdiri dari lima
ubin putih persegi dan bak mandi kaki-kakinya memiliki cakar seperti hewan. Dengan hati-hati Ali mengangkat tutup toilet duduk
untuk memeriksa buaya. Kabar baiknya tidak ada apapun disana, setidaknya belum.
Di dapur, Ali merasa seperti “Big Alice dalam bukunya karena bis kitaa ke bak
cuci, membuka pintu oven, dan berbalik duduk di meja tanpa lebih dari satu
langkah!
Malam pertama mereka di Osgood meninggalkan kenangan buruk.
Saat Ali pergi ke dapur untuk minum susu sebelum tidur dan menyalakan lampu. Tiga
kepinding besar dan hitam merangkak sangat cepat sepanjang dinding ke tempat
mereka bersembunyi di balik kompor yang hangat. Ali menjerit dan Ibunya berlari
menghampiri.
“Benar kata Nenek Agnes tentang kepinding.” kata Ali sambil
bergegas meninggalkan dapur dan kehilangan minat untuk minum susu.
***
Semua orang kembali ke rutinitas masing-masing: anak-anak
bersekolah, Caroline bekerja di kantor sebrang dan George bernyanyi di
pertunjukkan tengah malamnya. Ketika Ali dan Reynolds kembali dari sekolah.
Pertama-tama mereka mengerjakan PR, kemudian menonton televisi jika pengin. Setelah
itu mereka diizinkan ber-Buddy System untuk pergi ke taman atau ke Drug Store.
Sesaat setelah memasuki Drug store, mereka melihat ke meja permen,
kemudian memastikan uang di genggaman untuk memutuskan apa yang dibeli hari ini.
Kadang-kadang permen, kali lain soda di air mancur.
Wanita di kasir pada awalnya mengatakan hal-hal seperti ini
“Ayolah anak-anak, aku tak hanya melayanimu saja, cepatlah putuskan. Mau beli permen
atau coke?” Tapi, setelah beberapa kali datang kesana, karyawan itu tampak
sedikit ramah.
Waktu itu, saat mereka kesana untuk makan siang. Ibu memesan
kopi dari orang yang bekerja di belakang air mancur. Beberapa menit berselang,
ibu meminta krim dan gula.
“Nyonya, jika Anda ingin krim dan gula, mintalah tadi
sekalian! Kalian itu lucu.”
kata pria di
belakang meja pada ibu mereka.
“Begitukah? Nah, memang kami dari California,” jawab Caroline
mencoba tetap ramah
“Oh pantas.” balas pria itu, berbalik lalu pergi. Ali tidak
mengerti apa maksudnya. Tapi terasa aneh
kalau orang itu berpikir mereka berbicara lucu. Justru sebagian besar
orang-orang yang ditemuinya di New York City itu yang lucu.
mantapp
BalasHapuspilkada dki terbaru okezone