14. Sendirian di New York City
Senin akhirnya datang, tiba waktunya Ali dan Reynolds memulai
sekolah di P.S 69. Hari pertama juga bagi ibu mereka untuk kembali bekerja. Luar
biasanya, kantornya tepat di seberang jalan Osgood Apartments di mana mereka akan
tinggal di sana beberapa hari lagi.
Pagi itu ketiganya pergi diam-diam
dan bergegas seperti tikus agar tidak mengganggu ayahnya yang terlelap. Pekerjaannya
menyanyi dalam pertunjukkan Broadway membuatnya pulang setelah orang-orang
mulai bangun. Selain karena ia suka kongko bersama teman-temannya di toko delicates
(toko yang menjual makanan sudah dimasak dan siap dimakan) setelahnya.
Orang tua mereka sudah membahas
perbedaan jam ini, dan mengatakan memang rumit awalnya, tetapi akan terbiasa
nanti. Caroline diam-diam menutup pintu kamar hotel dengan George mendengkur
nyenyak di belakangnya.
“Bagus anak-anak, kita tidak membangunkan
ayahmu.”
Mereka pun bergegas ke lift. Caroline
berjalan sedikit terlambat dari biasanya. Lalu melihat jam tangannya dengan cemas.
“Semoga ibu bisa mengantar kalian
berdua ke sekolah dan masuk kantor tepat waktu.” Caroline menggigit ujung
bibirnya.
“Ibu, aku tahu jalannya kok. Aku akan
menjaga Ali. Ibu tak perlu mengantar kami.” kata Reynolds terlihat sangat
dewasa.
Caroline menatapnya dan berpikir tentang pernyataan
barusan.
“Ibu tidak tahu….”
“Kita bisa sendiri, ya kan Ali?” Reynolds
menoleh adiknya. Reynolds memang anak kambuhan. Tapi dia tahu bagaimana membuat
hal-hal mencengangkan. Ali ingat bagaimana ia dan Reynolds naik sepeda
sepanjang jalan turun Van Nuys Boulevard di Valley sekitar 5 kilometer untuk menemui
Nenek Nettie beberapa tahun lalu. Hingga membuat nenek dan ibu mereka
tercengang.
“Tentu.” sahut Ali agak gugup.
“Oke Reynolds, langsung ke sekolah lho
dan jaga adikmu.” pesan Caroline terlihat bimbang. Caroline memeluk kedua
anaknya di depan gedung tempat ia bekerja.
Ali
dan Reynold menuruni jalan 57th Street.
“Ini dia penjaranya.” gumam Reynolds
saat mereka tiba di sekolah dan menuju ke atas, tempat kantor administrasi.
Wanita di kantor bertanya ke mana orangtua mereka.
“Ayah tidur dan Ibu tak mengantar
kami” jawab Reynolds. Ada benarnya juga sih.
“Hmm, aneh.”
“Reynolds, kamu di kelas 6, ruang
244. Ali, kamu di kelas 3, ruang 248. Kalian telah melewatkan sekolah selama
seminggu.” katanya sembari mengintip dari atas kacamata yang melorot.
“Yah, kita baru sampai dari
California.” jawab Reynolds santai.
“Aku punya paman yang tinggal di
California.” balas wanita itu.
“Kami juga.” jawab Ali bangga. Dia teringat
Paman Dan.
Kemudian dua wanita di kantor
mengawal Ali dan Reynolds ke kelas mereka. “Sampai jumpa Squirt” kata Reynolds pada adiknya. Mereka menuju arah yang
berbeda.
“Ini Alison Spain. Dia berasal dari
California.” kata wanita yang mengantar Ali kepada Mrs Goldie. Wali kelasnya
yang baru di kelas 3 ruang 248. Murid-murid menoleh ke Ali dan tertawa sebentar
ketika mendengar namanya. Ali malu karena gelak tawa mereka.
“Di daerah California mana asalmu?
tanya Mrs Goldie.
“The San Fernando Valley, tepatnya
Sherman Oaks.” jawab Ali lebih akurat.
“Kamu dari Spanyol?” tanya seorang
anak laki-laki dengan suara keras sambil menyeringai.
“Tidak, California.” jawab Ali, ia tidak
menyukai nada sok pintar anak itu.
“Dan panggilanku Ali.” dia
cepat-cepat menambahkan karena tidak ingin dipanggil Alison.
“Ali. Selamat Datang di P.S. 69 dan kota New
York, sayang.” sambut Mrs Goldie, lalu mengucapkan terima kasih kepada wanita
yang mengantar Ali ke kelas.
“Ali, silakan duduk disana, dekat
jendela.” perintah Mrs Goldie. Ia sangat menyenangkan dengan aksen Brooklynnya.
Rambutnya panjang abu-abu dan memakai kacamata berbingkai merah.
Dia
menghabiskan waktu bersama Ali selama istirahat sambil menceritakan semua hal
yang akan dilakukan di kelas 3. Ali tidak khawatir tentang tugas membaca, tapi
dia resah dengan pelajaran Matematika. Ia tidak suka. Membaca dia suka, kickball
juga, tapi tidak Matematika.
Ali memandang sekeliling kelas kecil
yang nyaman. Ada meja-maja kayu dengan lubang di sudut kanan atas. Kita bisa
mengangkat bagian atas meja dan menaruh pensil serta buku catatan di dalamnya. Ada
gambar seorang pria botak dengan senyum lebar dan George Washington di dinding
depan. Sebuah globe berdiri di sudut bersama sebuah kamus yang besar. Radiator
kuno berderet di dinding dekat jendela. Ada taman kecil untuk bermain yang dikelilingi
oleh bangunan, lemari besar terdapat di belakang di mana anak-anak menaruh
jaket dan topi mereka selama musim dingin.
Tapi yang paling menarik bagi Ali
saat melihat teman-temannya. Di Sekolah Dasar Hazeltine di Valley, semua anak terlihat sama dengan
seragam. Di P.S 69, sebagian besar tampak seperti Reynolds dan Ali, tetapi
beberapa dari mereka kelihatan berbeda.
Ada seorang anak kecil kelihatannya
sih dari Jepang, ia mengenakan kemeja putih dan dipadu dasi dan berbangga hati
bahwa ayahnya musisi. Ada gadis Negro, Annie,
dengan banyak kepang ketat, ia melihat Ali dengan tatapan aneh. Lantaran Ali
memakai rok. Padahal cuma ke sekolah ia memakai rok. Terpaksa deh, karena dia
perempuan.
Betapa tidak adil, pikirnya. Seorang
gadis kecil bernama Miranda yang orang tuanya pindah dari Kuba mengenakan baju
merah cerah bermotif yang dibuatkan sang nenek untuknya. Berbeda dengan gaun
Miranda, Ali mengenakan jumper polos abu-abu dengan blus putih. Ibunya
mengatakan itu simpel, karena Ali bisa mengganti blus setiap hari dan memakai jumper
yang sama sepanjang minggu.
Tepat pukul 03:00, bel berbunyi dan
anak-anak bergegas keluar dari kelas, semua anak buru-buru pulang. Ali bertemu
Reynolds di tangga dan mereka saling berkomentar tentang hari pertama di kelas.
“Membosankan,” kata Reynolds. “Aku sudah
tahu semua hal yang mereka ajarkan.”
“Aku suka guruku, Mrs. Goldie. Annie dan
Miranda teman yang menyenangkan.”
“Eh
Ali, ada tempat namanya 'Playland' beberapa blok dari sini. Kesana yuk? Aku
dan ayah pergi kesana tempo hari. Mereka menjual trik sulap, ada mesin pinball
dan permainan menembak. Kamu ada uang?
“Ibu ingin kita langsung pulang,
ingat kan Reynolds?”
“Aduh, kamu memang tak tahu bersenang-senang,”
cibir Reynolds.
Mereka berjalan kembali ke Broadway.
Ali mengawasi kakaknya yang berjalan cepat beberapa langkah di depannya. Matanya
terus terpaku padanya. Dia tak ingin tersesat.
Reynolds berbalik tiba-tiba di jalan
Broadway dan memberi petunjuk pada adiknya.
“Teruslah berjalan lurus di jalan ini
untuk ke 61st Street dan kamu akan sampai di Hotel Preston. Aku mau
mengecek beberapa trik sulap di Playland sebentar saja.” Ali menatapnya dan
kemudian melihat jalan ke arah hotel mereka. Tepat pada saat itu dia merasa
sangat mirip Alice dalam buku yang dibacanya. Tapi dia berada di New York City
dan sendirian.
Dia menatap tanda-tanda jalan yang tertera
54th dan Broadway dengan berjinjit. Di seberang jalan terlihat
sebuah teater CBS TELEVISION. Reynolds telah menghilang seketika di antara kerumunan
pejalan kaki.
“Huh, siapa juga yang butuh dia? Aku
bisa pulang sendiri,” gumam Ali bercampur kekesalan pada kakaknya dan ketakutan
pulang sendirian.
Dia berjalan dekat gedung-gedung dan
menyaksikan semua orang terburu-buru. Mereka bahkan tidak memperhatikannya. Berkali-kali
orang-orang di sekelilingnya berseru "Awas Nak! " Dia hampir tak
terlihat. Ketika sampai ke tanda yang tertulis 57th Street, ditatapnya
gedung dimana ibunya bekerja. Satu blok lagi pasti akan sampai ke The Drug
Store. Diintipnya jendela dan melihat wanita di depan mesin hitung yang pernah
membantu mereka malam itu.
Lebih baik terus dan kembali ke hotel,
katanya pada diri sendiri. Ia menyeberangi persimpangan besar dekat taman, di
seberang patung Christopher Columbus. Dua blok lagi Hotel Preston menjulang di
hadapannya. Ketika sampai di lantai atas kamarnya, ia tak mendapati ayahnya.
Pasti ia sudah ke teater lagi. Ali turun dan duduk di salah satu kursi besar di
lobi. Tapi orang di meja pendaftaran terus menatapnya seolah-olah dia tidak
boleh duduk disitu. Mending pergi keluar dan duduk di tangga depan hotel,
pikirnya. Saat itu ada seorang laki-laki duduk di tangga Hotel Preston tak jauh
darinya.
“Hai, gadis kecil. Kenapa kamu duduk
di luar? Kemana orangtuamu?”
“Aku sedang menunggu kakakku. Orang
tuaku bekerja,” jawab Ali.
“Nah, mana kakakmu?” tanya pria itu.
“Dia sedang melihat-lihat trik sulap.
Kami baru saja pindah dari California,” kata Ali polos.
“California ya?” sahutnya.
Mendekatklah sini. Namaku Paman Bill.
Siapa namamu?” tanyanya.
“Ali,” jawabnya. Orang itu
menyenangkan, pikir Ali. Dia mengajak ngobrol, jadi tidak kesepian deh. Ali
berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
“Kamu mengingatkan pada keponakan
kecilku.” kata Paman Bill.
“Dia cantik dan punya ekor kuda
sepertimu,” Paman Bill menyentuh kepalanya dan menarik-narik ekor kudanya.
“Kau bawa buku apa? boleh kulihat?
Hmmmmmmmm….. “Alice in Wonderland” Mari kita baca sebentar.”
Ide yang bagus, pikir Ali, karena dia
suka membaca.
“Sini, duduklah di pangkuanku, akan
kubacakan untukmu.” kata Paman Bill menepuk-nepuk celana lusuh di lutut
kanannya. Orang itu sungguh bau tapi Ali malu untuk bangun karena terlanjur
duduk di lututnya
Paman Bill mulai membaca. Dia
melingkarkan tangannya di pinggang Ali, memeluknya sedikit dan meletakkan
tangannya di lututnya. Ali tiba-tiba merasa tidak nyaman. Dia benar-benar tidak
tahu siapa “Paman Bill” Dia mulai risih.
“Hei, siapa kau? Mengapa menyentuh
adikku?” teriak Reynolds dari bawah tangga hotel. Seketika, Paman Bill mendudukkan
Ali dan bukunya lalu bergegas menuruni tangga dan menuju taman tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
“Siapa orang itu? tanya Reynolds pada
Ali.
“Dia bilang namanya Paman Bill,”
jawab Ali.
“Kedengarannya seperti nama palsu.”
komentar Reynolds. “Tidakkah kau ingat kita tak boleh berbicara dengan orang
asing?” lanjutnya.
“Apa kau juga tidak ingat Buddy
System? balas Ali “Aku tak akan berbicara dengan dia, jika kamu….”
“Ah , lupakan saja Ali,” sela
Reynolds karena tahu adiknya benar. “Ayo, kita ke kamar dan melihat dari
jendela kemana orang tua itu pergi.”
Pada saat mereka sampai di lantai
atas dan melihat keluar jendela dari kamar hotel, terlihat Paman Bill sudah
berjalan ke taman menuju ke jalan rindang, tempat anak-anak bermain.