6. Menjual Botol Kosong
Ketika Ali terbangun keesokan
harinya, ia tersenyum senang saat menyadari benar-benar di rumah, bukan tempat
Mrs. Amity. Begitu banyak hal yang akan diburunya pagi ini. Bergegas memakai
topi koboi baru pemberian nenek Nettie, ia keluar mencari ibunya dan mendapatinya
sedang membuat panekuk di dapur.
“Sayang, cuci tanganmu dan gosok
gigi sebelum sarapan.” kata ibunya. Ali tampak berpikir, hal-hal seperti itu
rasanya tidak masuk akal baginya, ia telah melakukannya sebelum tidur di malam
hari. Tapi, ia tak mau membuat masalah
pagi ini. Ia sudah cukup senang ada di rumah. Setelah kembali dari bak cuci di
dapur, kue panekuk sudah terhidang untuknya.
“Sayang, sambil kau memakan panekuk,
ibu akan membacakan surat dari ayahmu, oke?”
Sembari sarapan, ia melihat ibunya
membacakan surat terbaru dari ayahnya. Biasanya ayahnya menulis surat yang
begitu panjang. Ia akan menceritakan tentang semua kota yang dikunjunginya,
pertunjukkan-pertunjukkannya dan semua hal-hal yang membuatnya senang. Pada
akhir suratnya akan tertulis betapa ia merindukan Caroline.
“Apakah ayah menanyakanku Bu?” tanya
Ali penuh harap.
“Mari kita lihat. Ya, tepat di margin ini. Katanya
titip pelukan erat untuk Ali dariku.” Ibunya menunjuk ke sisi surat dimana terletak
nama Ali.
“Margin itu apa Bu? tanya Ali .
“Sedikit ruang di sisi surat ayah,
Sayang.”
Sebuah kata baru untuk Ali : m-a- r
- g - i- n . Sebuah ruang kecil, kecil, seperti dirinya.
Ali tumbuh di ruang kecil kehidupan
keluarganya. Lalu tinggal di keluarga lain selama seminggu dan pulang pada
akhir pekan untuk melihat ibunya memotong rumput, bersih-bersih dan menghitung
angka-angka pada selembar kertas, sejumlah tagihan.
“Dengan ayahmu pergi sepanjang
waktu, sepertinya ibu tidak bisa melakukannya seorang diri.” Ibunya akan bergumam
sambil melihat ke arahnya, seolah meminta pengertian. Ali ingin membantu, tapi dia baru berusia 7 tahun.
Saat menerima surat, ibunya akan
membacanya berulang-ulang, tertawa kecil lalu tiba-tiba menghapus air mata dari
pipinya. Ayahnya memang penulis hebat.
Kemudian, ketika selesai membacanya,
ia akan meletakkannya dalam keranjang kecil dekat foto ayah Ali, di atas piano ruang
tamu.
“Ali, setelah meletakkan piringmu
ke bak cuci, tidakkah kau ingin bermain di luar? Nah, carilah kakakmu, sedang
ngapain dia.” ujar ibunya. Bermain di alam terbuka memang lebih baik daripada
di dalam rumah saja. Buru-buru Ali mengelap sirup panekuk yang menempel di
mulutnya, menyambar pistol lalu berlari keluar untuk menghabiskan akhir
pekannya dengan menembak orang jahat dan menjelajah sekitarnya.
Setelah pintu kasa terbanting,
ibunya berteriak “Ali untuk kesekian kalinya. Jangan, membanting pintu!”
Ali berlari. Namun, ia tak pernah yakin hendak
kemana. Saat memutuskan bermain. Ia hanya terpikir untuk menuju sungai. Tapi jika
temannya Jenny keluar bermain, mungkin ia akan bersamanya saja. Ataukah ia akan memberanikan diri ke Ventura
Boulevard dimana disana banyak toko. Namun, ibunya memperingatkan agar tidak
pergi ke sana tanpa Reynolds. Huh, kakaknya saja tidak kelihatan batang
hidungnya.
Ia teringat tentang sesuatu, ketika
dia pulang dari rumah Mrs. Amity tempo hari, ia melihat ada rumah baru sedang
dibangun di ujung blok. Ia akan kesana untuk memata-matai. Yang menyenangkan tentang
rumah yang baru dibangun adalah, selain bau serbuk gergaji yang disukainya juga
botol-botol 7 Up dan Cola yang bisa
ditemukan dan dijual kembali ke toko untuk membeli permen.
Ali memutuskan pergi ke rumah baru
itu. Dia punya pistol untuk menembak orang jahat yang barangkali bersembunyi
disana. Tidak ada pekerja disana karena hari libur. Hemm bagus! Pikir Ali,
takkan ada tidak ada yang menghalaunya. Kebanyakan anak-anak di sekitar,
menghabiskan waktu di rumah bersama keluarga atau bermain dengan mainan baru.
Mungkin banyak botol berserakan saat hari terakhir para tukang bekerja.
Ali memandang sekeliling, merasa
aman. Ia pun berkeliaran ke rumah baru yang banyak papan kayu dipaku dan
membentuk sudut-sudut lucu. Banyak paku bertebaran di sekitar serbuk gergaji
yang berbau khas. Ali tersenyum mendapati botol-botol yang berserakan
dimana-mana.
Ia mengumpulkan banyak botol,
memasukkan beberapa ke jaketnya. Bahkan mencoba menjejalkan ke sepatunya yang kebesaran
hingga membuatnya sulit melangkah.
Tujuan berikutnya adalah ke toko
Berjalan ke Ventura Boulevard tidakklah
mudah ketika pakaian dipenuhi botol dengan tangan menggenggam beberapa. Botol-botol Ali berdentingan dan sesekali ia
tersandung saat berjalan ke toko. Tangannya
pun lengket dengan cairan-cairan yang masih tersisa didalamnya. Di bagian
belakang toko ada seorang pria bekerja di balik pintu setengah terbuka yang
memiliki tempat untuk mengumpulkan botol-botol kosong.
“Nah, nona kecil sepertinya kamu
perlu bantuan.” Seorang pria menegurnya
dari balik pintu setengah terbuka. Bagian bawah ditutup, tetapi atas terbuka .
“Clank!” satu botol jatuh dan
membentur lantai tapi tidak pecah.
“Mari, kemarikan Nak,” ujar pria
sambil mengulurkan tangan dan meraih botol-botol dari tangan Ali.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan.” mereka menghitung dan
menjejerkannya.
“Waw, begitu banyak botol untuk seorang
gadis kecil sepertimu.” pria itu tersenyum pada Ali.
Ali mendapat segenggam uang sebagai
imbalan dan ia sangat gembira. Uang untuk membeli permen, mungkin juga es krim
ketika Good Humor berkeliling di sekitar rumahnya pada sore hari.
“Terima kasih.” ucap Ali sambil
berjalan menjauh, mencengkeram koin mengkilapnya .
“Sama-sama.” balas pria itu.
Saat Ali sedang berjalan keluar
dari pintu toko dan asyik dengan koinnya. ia mendengar suara yang sangat
familiar.
“Hei , ngapain kamu disini? Ibu
akan marah kalau tahu kamu sampai sini tanpa aku.”
Ternyata Reynolds.
“Hei, kamu
dapat duit berapa?” tanyanya yang tiba-tiba terdengar lunak.
“Ayo kita balik ke toko dan membeli sesuatu.” Ajak
Reynolds. Tadinya Ali berencana takkan membaginya atas semua kerja keras yang
dilakukannya. Tapi ia takut jika
Reynolds mengadu pada ibu.
“Aku nggak dapat banyak sih,
tapi….baiklah.” jawab Ali kemudian. Setelah menghabiskan semua
uangnya di kedai Hershey. Membaginya berdua dan makan di
tempat. Reynolds mengajaknya untuk mencari botol lagi.
“Semua botol sudah kuambil semua.
Tidak ada lagi yang tersisa.” kata Ali.
“Aku tahu dimana kita bisa mendapatkannya
lebih banyak. Ikuti aku.” perintah Reynolds pede.
Reynolds memimpin Ali ke bagian
belakang toko dimana semua botol bekas dikumpulkan dalam peti kayu reyot yang
dirantai dengan pagar.
“Kita akan menggali lubang di bawah
pagar dan mengambil beberapa botol. Mereka memiliki satu ton botol disini. Siapa yang akan tahu kalau kita
mengambil beberapa botol saja? “kata Reynolds. Ali sedikit terkejut mendengar gagasan itu, tapi juga penasaran. Ah,
itu tidak seburuk mencuri ternak yang sampai melibatkan sherif setelahnya,
begitu pikirnya. Dia tahu itu salah, tapi ide untuk mendapatkan uang lebih
terdengar menyenangkan.
Ali dan kakaknya mulai menggali di
bawah pagar dan sesekali melihat-lihat siapa tahu ada yang memergoki mereka. Setelah
cukup ruang untuk menjangkau. Mereka mulai menarik beberapa botol dari balik
pagar.
“Benar kan kataku, itu pekerjaan kecil.” Reynolds berkata puas
seolah-olah ia telah melakukan hal ini sebelumnya.
“Kamu bawa botol-botol ini kesana dan
aku akan mengawasi.” Perintah Reynolds mendorong Ali ke arah toko. Sekali lagi, dia
tergopoh-gopoh ke pintu setengah terbuka dan pria yang mengambil botol-botol
bekas.
“Kau kembali lagi
gadis kecil ” tanya pria itu, memiringkan kepalanya ke satu sisi.
“Ya” hanya itu bisa yang keluar
dari mulut Ali. Ia mulai merasa sedikit gelisah tentang setumpuk botol yang
dijualnya. Dia punya uang lagi, tapi kali ini tidak menyenangkan, sesuatu yang
mengganggunya. Apakah orang itu penasaran mengapa tangannya begitu kotor? Apakah
dia akan mengikutinya keluar toko?
Ketika Ali berbelok menuju ke
belakang toko dimana Reynolds berada, ia melihat kakaknya itu sedang menyeret
begitu banyak botol.
“Heh, sini! aku ada botol lagi
untuk kau jual Ali.” kata Reynolds.
“Aku mau pulang sekarang.” sahut Ali
dengan perasaan bersalah.
“Ah, penakut banget sih.” balasnya.
Saat itu pintu belakang toko yang mengarah ke tumpukan botol dibuka dan pria
yang memberinya uang, keluar.
“Hei, anak-anak! Ngapain kalian di
situ?”
Ali tahu saat yang tepat untuk
berlari seperti dalam film koboi di televisi. Ia melaju ke rumah. Dengan enggan
Reynolds meninggalkan tumpukan botolnya dan lari tidak jauh di belakang
adiknya.
Ali masih bisa mendengar pria itu
berteriak-teriak setelah mereka pergi. Saat
itu ia menyadari takkan bisa menjual botol-botol kosong kesana lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar