11. Kepak Sayap Ali dan Reynolds
Hari yang menakjubkan
telah tiba. Terbang ke New York!
Para kerabat
melepas Caroline sekeluarga dengan saling berpelukan. Bahkan Nenek Agnes begitu
baik memberi Ali dan Reynolds uang untuk jajan. Paman Dan mengangkat Ali dan
berpura-pura menerbangkannya mengelilingi langit-langit di rumah yang kosong untuk
terakhir kalinya, ia bergurau tentang bayi buaya yang harus dilihatnya ketika
sampai New York nanti.
Nenek Nettie turut
senang atas Caroline dan terus mengatakan bahwa George membutuhkan keluarga di
dekatnya, menjaga agar kakinya tetap menapak tanah dan kepalanya tak melebihi
batas awan. Ali tak mengerti apa maksudnya, tapi terdengar suatu kalimat yang
baik. Paman Mack berpesan agar Ali mengingat bahwa ia selalu “San Fernando Ali”
baginya. Ali meyakinkannya, ia takkan
lupa itu.
Berada di dalam
pesawat adalah hal yang paling mengesankan bagi Ali. Mereka jauh di atas awan,
melihat keluar dari jendela kecil. Di bawah sana hanya terlihat tempelan warna
coklat dan hijau. Dari atas kita tidak bisa melihat rumah-rumah atau apapun. Derum
dan gemuruh baling-baling sangatlah menakjubkan. Wanita berjalan mondar-mandir
di lorong memberi mereka makanan dan miniatur sayap maskapai untuk Ali dan
Reynolds untuk dikenakan pada baju mereka, seperti yang ada pada jaketnya. Hati
Ali berdebar karena luapan kegembiraan,
naik pesawat terbang, pergi ke tempat baru untuk tinggal dan berjumpa dengan ayahnya.
Terdiam di
kursinya Ali sedang memikirkan ayahnya. Meskipun ia tidak setinggi Paman Dan, ayahnya
termasuk jangkung. Ibunya selalu mengatakan bahwa ia begitu tampan dengan rambut
yang hitam, senyum menawan dengan mata biru. Tampak seperti bintang film,
begitu ibunya bilang.
Ali merasa ia
tidak mirip ayah atau ibunya. Ia dan Reynolds berambut pirang, walau mereka bermata
biru seperti ayahnya. Begitu banyak hal yang terpikirkan saat berada di dalam
pesawat. Sesekali pria yang menerbangkan pesawat memberitahu para penumpang ketika
mendekati tempat-tempat tertentu contohnya saat terbang di atas danau.
New York benar-benar
jauh dari Valley. Ibunya dan Reynolds bermain kartu, sementara Ali membaca buku
favoritnya, Alice in Wonderland. Ia selalu menyukai bagian pertama, dimana Alice
terjatuh ke lubang kelinci dan memulai petualangannya dengan segala macam binatang
aneh dan orang-orang di tempat ajaib.
Ketika mereka
mendarat di bandara dan mengambil barang-barang. Sekeluarga naik mobil warna kuning
(taksi) dan melaju jauh ke tempat baru mereka.
“Wow, lihat semua
gedung-gedung tinggi itu.” seru Reynolds. Reynolds yang hampir tak pernah
terkesan dengan apapun, kagum pada semua hal yang ia lihat dari taksi. Ibunya terus
menunjuk pada objek yang berbeda-beda. Ali dan kakaknya terus memutar kepala
dari sisi ke sisi untuk melihat semuanya.
Mereka memperhatikan jalan-jalan sepanjang kota.
“Nah, anak-anak! Ini
adalah Manhattan.” kata sopir taksi sambil menatap mereka bertiga yang duduk di
belakang melalui kaca spion.
“Loh, kupikir
pikir kita akan ke New York Bu,” cetus Ali.
“Manhattan merupakan
bagian dari New York. Ini juga kota besar. Lihatlah di sini, di buku panduan perjalanan
yang ayahmu kirimkan. Disini tertulis, kota New York terdiri dari 5 sektor atau
kota kecil, Manhattan, Brooklyn, Queens, Bronx dan Staten Island.” Ali belum
pernah mendengar tentang tempat-tempat itu. Satu-satunya yang terdengar
familiar adalah “Queens” seperti ‘Queen Of Heart’ dalam buku Alice in
Wonderland.
“Dimana ayah
tinggal Bu?” tanya Ali.
“Dia ada di sebuah hotel dimana kita akan
bertemu sebentar lagi, Sayang. Yang pertama melihat tanda Hotel Preston dapat
satu dolar.” kata ibu Ali.
“Kita akan tinggal
disana untuk sementara waktu sampai apartemen siap dihuni pada bulan Oktober.”
tambah Caroline. Ia terus melihat keluar jendela saat taxi melalui jalan-jalan
ramai.
Caroline merasa
seperti ibunya yang telah melakukan perjalanan ke Chicago ketika masih muda dan
dibesarkan di Hollywood, tapi dirinya belum pernah melihat sebuah kota yang
agaknya sebesar di New York.
Mereka semua
berhimpitan di kursi belakang. Masing-masing membayangkan kehidupan seperti apa
yang akan terjadi pada mereka.
“Aku sudah tak
sabar melihat ayahmu.” kata Caroline.
“Aku ingin pergi
ke Patung Liberty.” ujar Reynolds.
“Aku ingin melihat
ayah juga.” kata Ali memegang erat lengan ibunya dengan Smokey berderak di
antaranya.
“Aku melihatnya!”
teriak Reynolds.” Hotel Preston berada di pojok sana. “Aku menang!” pekiknya
penuh kemenangan. Ali tidak peduli. Kemudian dia berteriak “Ayah di sana. Lihat ibu! Ayah melambai pada
kita. George pun cepat berlari menuruni tangga hotel dan menyambut keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar