13. Bapak dan Putra ke Gedung Pertunjukkan,
Ibu dan Putri Pergi ke Taman
Sungguh sangat
sulit untuk tidur pada kali pertama di Hotel Preston. Suara kipas angin di atas
kepala yang berputar-putar membuat bising. Tapi tak membantu merasa lebih
sejuk. Cahaya lampu pada papan hotel berdenyar di luar jendela. Suara klakson
mobil dan taksi saling bersahutan, suara lift,
bahkan orang berbicara di luar bisa terdengar, kadang-kadang muncul dari
koridor, juga dari jalan di bawah ketika jendela dibiarkan terbuka supaya ada
udara masuk. Suara pintu sedang dibuka dan ditutup terdengar di sepanjang
koridor. Terkadang George mengeluarkan suara gemeletuk dari mulutnya dan
membolak-balik badannya.
Betapa menyenangkan
menyadari ayahnya kini begitu dekat, pikir Ali. Meskipun ia agak berisik ketika
tidur. Ali mencoba untuk tidur di antara semua suara yang terdengar. Dengan
erat ia memeluk Smokey Bear dan merapat pada ibunya. Ayahnya dan Reynolds berada
di tempat tidur lain. Tampaknya mereka mencoba tak mengacuhkan hal-hal yang
mengganggu tidurnya walapun hawa di dalam ruangan begitu panas.
Saat mata Ali
mulai terpejam dia berpikir betapa berbedanya keadaan di New York dibandingkan
tidur di rumah Mrs Amity atau rumahnya di River Street. Disana yang terdengar
hanya suara jangkrik di semak-semak halaman belakang .
Ali terbangun pagi
hari karena suara klakson mobil.
“Waktunya bangun.”
ucap ayahnya. Dia telah menyiapkan kopi untuknya dan Caroline juga sereal untuk
semua.
“Aku akan mengajak
Reynolds ke gedung pertunjukkan hari ini.” katanya kepada Caroline. “Kupikir
itu akan jadi kesempatan baik bagiku untuk mengakrabkan diri. Ayah dan putranya
di ‘Big Apple’Bagaimana menurutmu? tanya George pada Caroline .
“Tentu sayang. Ali
dan aku dapat melihat toko-toko dan mungkin juga pergi ke taman sebentar.”
“Mari kita
menyesuaikan jam tangan, Sayang.” kata George sambil menatap arlojinya. Sekarang
jam 09:00. Kita berkumpul kembali di Preston selambat-lambatnya jam 14:00. Kau
tahu aku sudah harus kembali ke gedung pertunjukkan jam 15:00.”
Caroline memeriksa
arlojinya dan mengingat betapa tepat waktunya George akan segala sesuatu. Reynolds
dan ayahnya berjalan tujuh blok menuruni Broadway kemudian berbelok ke 54th
Street.
“ Bukankah ini jalan
menuju sekolah?” tanya Reynolds.
“Kamu cukup tajam,
Nak. Memang benar, gedung pertunjukkan tempat ayah tampil sedikit ke bawah lagi
dari sekolahmu.” Mereka terus melangkah
cepat menuruni jalan-jalan, bergegas melewati orang-orang yang berjalan lambat
di trotoar dan menghindari kurir yang berlalu lalang serta orang-orang yang
keluar masuk dari hotel, toko-toko dan gedung-gedung di sepanjang jalan.
“Terkesan?” tanya
George pada anaknya.
“Bagaimana tak
mengesankan? Ini keren!” pekik Reynolds yang jarang mengekspresikan kegembiraan.
“Aku merindukan
kalian, kau tahu. Kuharap kau suka disini.”
Ketika sampai ke di
ujung jalan, Reynolds yang tadinya akan berhenti, melihat isyarat dari ayahnya
yang terus berjalan cepat meskipun lampu merah.
“Hei Nak, kalau
kamu berhenti, semua orang akan tahu Anda seorang wisatawan. Lihatlah lurus ke
depan dan terus berjalan. Ikuti dan tetaplah dekat ayah.” kata George sambil
meletakkan tangannya di bahu Reynolds. Reynolds menyukainya. Tidak perlu
menunggu lampu hijau untuk bisa jalan terus.
Itu membuatnya merasa dewasa dan keren.
“Keren.”
kata Reynolds lagi saat ia mencapai jalan berikutnya dan terus melangkah di
samping ayahnya ketika lampu merah.
“Ini dia, Teater
Ziegfeld.” George bangga “Kita akan menuju pintu masuk panggung.”
George memperkenalkan anaknya ke
beberapa orang di belakang panggung dan mengajaknya melihat-lihat.
“Ganteng juga
anakmu George.” kata salah seorang penari.
“Apakah dia bisa
menyanyi George? Mungkin dia bisa bergabung dengan kita.” ujar seorang wanita
yang memakai kostum pertunjukan.
“Dia cantik Yah.”
kata Reynolds tersenyum.
“Sebenarnya, aku
tidak tahu apakah dia bisa bernyanyi.” ujar
ayahnya pada wanita yang berpakaian minim itu.
“Apakah kamu bisa bernyayi Nak?”
“Aku belum pernah
mencoba Yah, mungkin.” jawab Reynolds.
Reynolds berjalan
menuju panggung dan membayangkan betapa indahnya disoraki oleh penonton. George
berbicara singkat kepada salah satu manajer panggung tentang acara malam ini.
Tiba-tiba seorang
wanita berambut merah yang mengenakan kostum indah muncul di belakang George
dan meletakkan tangannya di atas mata George. “Siapa Sayang?”
Reynolds memandang
ayahnya dimana ia sedang berdiri dan menatap wanita di depannya. Dia langsung
tak suka. Dia memanggil ayahnya dengan sebutan ‘Sayang’. Tentu itu sesuatu yang
salah. George terbatuk dan berkata “Oh, hai nona. Aku ingin kau bertemu
anakku.”
“Apakah ini
Reynolds?” tanyanya.
Reynolds bertanya-tanya
bagaimana wanita itu tahu namanya.
“Ya tentu. Anakku,
baru saja datang kesini, aku ingin kau bertemu…..”
“Halo Sayang. Kau
begitu tampan, sama seperti ayahmu.” desahnya, sambil memberikan Reynolds
kecupan kilat di pipi. Reynolds benar-benar tidak suka wanita aneh ini.
“Halo.” sapa Reynolds
datar. Dia bertanya-tanya kemungkinan bahwa semua orang disini saling memanggil
dengan sebutan sayang.
“Yah, aku hanya
ingin menunjukkan Reynolds dimana ayahnya bekerja dan mencari nafkah. Istriku
Caroline sedang mengajak putri kami untuk melihat Central Park.
“Betapa manisnya.”
kata wanita berambut merah. Ayah Reynolds tampak sedikit tidak nyaman dan
mengatakan bahwa ia dan Reynolds akan pergi segera.
“Tapi Sayang, kalian
sejoli tampan baru saja sampai sini. Kenapa pergi begitu cepat? Dia berkata dengan
suara centil yang aneh.
“Hanya melihat-lihat
panggung sebentar dan aku harus kembali ke hotel sebelum Ali dan ibunya pulang.”
Reynolds menyilang
tangan dan tampak ingin pergi.
“Yah, senang
bertemu denganmu Nak. Ayahmu selalu membicarakanmu sepanjang waktu. Bye-bye.” katanya
sambil meninggalkan mereka yang berdiri di atas panggung.
“Siapa dia?” tanya
Reynolds, menyeringai sedikit.
“Salah satu wanita
dalam pertunjukan. Dia memiliki suara yang indah.” jawab George sambil melihat
wanita berambut merah menghilang di belakang panggung.
“Seperti orang
yang palsu menurutku.” kata Reynolds. “Siapa namanya?”
“Oh, namanya, ahh
namanya….Marsha.” sahut George sedikit bimbang
Seperti bukan ayahnya
kalau sampai lupa nama, pikir Reynolds.
Sementara itu, Ali
dan ibunya telah meninggalkan Hotel Preston dan memasuki Central Park dekat monumen
besar.
“Ini adalah ‘Maine
Gate’ ke taman.” kata ibunya saat membaca buku panduan perjalanan yang
diberikan George.
“Dikatakan dalam
buku bahwa itu adalah tanda peringatan untuk Battleship Maine yang diledakkan
pada tahun 1898 dan menyebabkan Amerika Serikat berperang dengan Spanyol
(Spain)”
Ali bersorak ketika mendengar nama
belakangnya.
“Spain? seperti
kita.” Ia tersenyum. Mereka terus berjalan menyusuri jalan, melewati
bangku-bangku taman yang sebagian tertutup daun. Ali mulai melepaskan tangan
ibunya untuk melompat ke atas bangku kemudian turun dan melintasi daun-daun
musim gugur yang bertebaran di mana-mana .
“Jangan
jauh-jauh.” kata Caroline pada putrinya. Ali dan ibunya melihat orang-orang
yang menarik perhatian. Ketika mereka berjalan di sepanjang jalan setapak, ada
seorang pria tua sedang duduk memberi makan merpati sembari mengajak ngobrol.
“Dia berbicara
dengan burung Bu.” bisik Ali.
“Dia mungkin
kesepian, Ali, shhhhhh.” bisik ibunya. “Lihatlah orang-orang yang sedang
berciuman di sana, dekat pohon itu, Ibu.” kata Ali yang tak pernah melihat orang
di taman melakukan hal semacam itu.
“Sayang, ini
adalah New York, mereka melakukan sesuatu yang berbeda di sini.” jelas
Caroline. “Mari kita duduk sebentar, hingga ibu bisa merokok dan melihat buku
panduan.” kata ibu Ali sambil duduk, membuka tasnya dan menyalakan sebatang
rokok.
Aku mau ke atas
batu itu ya Bu?” Ali mulai memanjat tonjolan besar batu dekat jalan dimana
mereka berada.
“OK, asal ibu bisa
melihatmu.”
Batu-batu itu
mengingatkannya pada film koboi di televisi. Dia bergegas ke atas dan
memandangi taman. Ia bisa melihat taman bermain dengan ayunan dari kejauhan. Dia
kemudian perlahan-lahan mengitari sepanjang jalan sekitar untuk melihat
gedung-gedung tinggi yang mengelilingi taman besar.
Ia tak bisa
melihat tanda Hotel Preston berada. Tapi
ada tanda besar di atas gedung pada tepi taman yang tertulis “Essex Hotel”.
Beberapa menit kemudian ia mendengar ibunya memanggil.
“Ali, mari kita
pergi.” Ali bergegas menuruni bebatuan dan menyusul ibunya.
“Mari menuruti
jalan ini. Kita akan sampai ke 5th Avenue dalam beberapa menit dan
melihat-lihat pajangan.
Fifth Avenue
adalah jalan yang sangat padat. Bus, taksi dan mobil, tapi yang terpenting dari
semua itu adalah. Ada kuda di sana!
“Ibu, bisakah aku
memberi makan kuda?” pinta Ali.
“Ibu kira, tidak Sayang.
Dia makan makanan di karung yang tergantung di lehernya sekarang.
Lebih baik tidak mengganggunya.
Mungkin lain kali.”
Ali terlihat
kecewa, tapi mematuhi ibunya. Dia tidak terlalu berharap bisa menemukan kuda di
New York. Ini adalah kejutan yang
menyenangkan. Mereka berjalan dan berjalan sepanjang 5thAvenue
dan melihat semua toko sepanjang
jalan .
“Benar-benar
menyenangkan ya kan Sayang?! Ini disebut window
shopping. Kita bisa melihat segala sesuatu, tapi tak harus masuk dan
membeli apa-apa.” jelas ibu Ali.
Apa asyiknya? pikir
Ali. Melihat-lihat tetapi tidak membeli. Oh, memang tidak ada sesuatu pun yang
menarik minatnya. Kebanyakan hanya pakaian perempuan dan perhiasan atau hal-hal
yang disuka ibunya. Satu-satunya yang ia sukai sepnjang jalan 5th Avenue
adalah kuda dengan kantong pakan dan toko mainan yang mereka lihat sebelumnya.
Ibunya berjanji ketika memiliki waktu luang mereka bisa kembali untuk memberi
makan kuda dan ke toko mainan.
Beberapa saat
kemudian, mereka berhenti di sebuah tempat yang menjual hamburger dan kentang
goreng tepat di seberang Central Park. Di dalam menu ada hamburger yang memakai
kacamata. Ali membaca menu dan menggumam ‘Prexy's’ Hamburger berpendidikan
tinggi.”
“Sungguh lucu
sebuah hamburger berpendidikan.” pikir Ali. Mereka memesan dua hamburger dengan
kentang goreng dan segelas chocolate shake untuk berdua.
“Ya Tuhan! kita
bakal terlambat.” Seru ibunya tiba-tiba. Ibunya terdengar seperti White Rabbit
dalam buku favoritnya.
“Cepatlah Ali.
Waktunya kembali ke hotel.” Ibunya meraih cek dari konter dan membayar kepada
kasir wanita dekat pintu. Meskipun mereka bergegas secepat mungkin. Tapi saat sampai
di hotel, George dan Reynolds sudah kembali. Terlihat ekspresi kaku di wajah
George ketika mereka membuka pintu. Dia mengangkat lengan kirinya, menatap
tajam arlojinya dan menggeleng kecewa.
“Jangan menatap
seperti itu George.” kata Caroline yang kehabisan napas karena terburu-buru. “Kita sepakat ada disini jam
02:00 Caroline. Kamu tahu aku harus kembali ke gedung pertunjukkan.” tukas
George .
“Oke, oke aku
minta maaf. Yah, aku terlalu terpesona melihat segala sesuatu disini.”
Caroline mencoba
mengubah topik pembicaraan. “Aku tahu kau harus pergi, Sayang.” Ia beralih ke
Reynolds apakah ia bersenang-senang di gedung pertunjukkan.
“Ya. Ayah menunjukkanku banyak hal dan aku
bertemu ‘Marsha, Sayang’” kata Reynolds menekankan kata ‘Sayang’
“Marsha Sayang?
Caroline melihat George dan Reynolds bergantian. Tampak ekspresi bingung di wajahnya.
“Dia hanya salah
seorang gadis dalam pertunjukan. Sedikit berpengaruh, kau tahu semua orang
dipanggil sayang dalam urusan
pertunjukkan.”
“Kapan kiranya
kami bisa melihatmu manggung George? Aku akan senang jika bisa menontonmu.”
kata Caroline.
“Sayang, itu bukan
pertunjukkan untuk anak-anak. Kita harus mencari waktu kapan kamu bisa datang
segera setelah mengatur jadwal dengan anak-anak. Aku harus pergi , Sayang.” Katanya
menutup pintu dan bergegas menyusuri koridor.