4. Natal dengan
Keluarga
Ali bergegas melalui pintu depan dan mendapati Reynolds
mengadu pada ibu seperti biasa.
“Dia turun ke sungai lagi, Bu.”
“Ali” ibu memandangnya cemas. “Lepas sepatu yang
penuh lumpur itu dan lemparkan ke teras.” Ibu meraih lengan Ali dan membawanya
ke kamar mandi .
“Mandilah, simpan pistol itu! Demi
Tuhan. Nenek Agnes, Paman Mack, Bibi
Lurline dan Paman Dan akan kesini sebentar lagi.”
“Oh, Paman Dan! Apakah ia masih
mengenakan seragamnya? Apakah ia membawa senapan, lagi?” pekik Ali .
“Sudahlah, masuklah ke kamar mandi
sekarang.” kata ibunya.
Betapa spesialnya ketika Santa dan
Paman Dan datang! Ia yang mengiriminya
jaket warna emas dengan sedikit warna merah dan bordir naga di bagian depan
untuk kado ulang tahunnya beberapa tahun lalu.
Saat itu Paman Dan sedang dalam peperangan di tempat yang jauh dari
Valley tapi sekarang ia telah kembali. Ibu telah menunjukkannya melalui globe,
tempat dimana Paman Dan berperang, tempat itu berwarna merah dan terlihat
seperti kepala naga. Paman Dan mirip
seperti koboi karena ia punya pistol dan mengendarai tank (meskipun tank pasti
tak sebagus kuda, pikir Ali )
Ibu Ali menyukai Natal. Ia menghias
apapun yang di rumah, terutama pohon Natal kecil di ruang tamu. Banyak hadiah
yang terselip di bawahnya dan tentu saja, Santa akan membawa lebih banyak
hadiah lagi nantinya. Reynolds menyeringai lagi pada adiknya lalu turun menuju
ke kamarnya.
“Bu, aku mau keluar sebentar ada
dua kado yang perlu dibungkus.” kata Reynold sembari menutup pintu kamarnya,
takut-takut kalau ada yang menyusup. Terutama adiknya .
Ali bergegas mandi, setelahnya ia
mengenakan jaket naga yang indah dari Paman Dan, kemudian menuju ruang tamu.
Ibunya selalu memutarkan musik Natal pada gramofon di antara kesibukan dapur
untuk menyiapkan makan malam. Caroline Spain, ibu Ali itu sedang berlutut dekat
pohon Natal dan menempatkan foto suaminya pada lengan Santa yang terangkat,
seolah-olah mengucapkan “Selamat Natal.” Ayah Ali memang hampir tidak pernah di
rumah. Dia sedang road show, begitu
ibunya bilang. George Spain, ayah Ali itu adalah seorang penyanyi . Sudah lama
sekali ketika Ali masih kecil, ia masih bisa mengingat ayahnya menyanyikan
sebuah lagu berjudul “It’s Gonna Be a Great Day.”
Dia akan menyanyikan sebuah lirik dan menekan
tuts-tuts pada piano berulang-ulang.
“Hello” terdengar suara yang begitu
akrab dari pintu depan “Ada orang di rumah?”
“Silakan masuk, silakan
masuk.” teriak Caroline dari dapur. Semua kerabat telah datang, mereka
berbicara, tertawa dan berjalan ke dapur dimana Caroline sibuk mempersiapkan
makan malam. Saling memeluk dan khusus untuk Ali tepukan kecil di kepalanya.
“Nah, kamu cukup rapi, gadis
kecilku yang liar.” dengus Nenek Agnes. Paman Mack, saudara nenek, berada tepat
di belakangnya.
“Nah bagaimana kabarmu gadis
kecilku San Fernando Ali? Masih menembak bandit di kampung?” Paman Mack memang
lucu. Semua orang selalu tertawa ketika ia memanggil “San Fernando Ali.”
pendengarannya sudah berkurang. Kadang Ali perlu mengulang berteriak “Hai Paman
Mack.”
Bibi Lurline, adik
nenek menatap Ali. Selama keseribu kalinya ia menyebut Ali sedikit tomboi lalu
pergi ke dapur untuk membantu Caroline .
“Paman Dan” teriak Ali berlari ke
pamannya yang sangat tinggi. Kepalanya hampir mencapai langit-langit!
“Apa kabar keponakan kecilku?”
Paman Dan mengulurkan tangan dan mengangkat Ali tinggi-tinggi.
“Lututku tergores ketika jatuh dari
ayunan Mrs Amity.” Kata Ali menunjuk ke bawah lututnya .
“Biarkan aku menciumnya.” kata
Paman Dan. “Kulihat kau mengenakan jaket yang kukirim dari Korea.”
Itulah tempat yang di globe tampak seperti naga, pikir Ali . Paman Dan
kemudian mengangkat Ali sampai ke langit-langit seperti sebuah pesawat terbang
lalu berputar-putar di sekitar ruang tamu sambil melentangkan tangan dan berteriak
“Zoom….zoom….aduh.” Tak sengaja lututnya
membentur kepala Paman Dan.
“Hati-hati , atau kamu akan merusak
pesawat, Nak.” canda Paman Dan.
Begitu sibuk kegiatan di
dapur. Semua perempuan meraih mangkuk-mangkuk untuk persiapan makan malam. Para
lelaki mengatur meja di ruang tamu.
“Ayo semua, ke meja sekarang, waktunya
untuk mengucap syukur.” kata Caroline. Semua sanak saudara menempatkan diri
sekitar meja dan meletakkan serbet di pangkuan, kemudian menatap Caroline.
Hanya ada tujuh orang di sekeliling meja. Namun, sungguh luar biasa rasanya
ketika semua telah berkumpul. Ini sangat jarang terjadi. Caroline mengawali
ucapan natal, namun tiba-tiba terhenti ketika ia melihat Reynold.
“Jangan menyentuh apapun di atas
meja sampai selesai mengucap syukur.”
Perintah Caroline dengan kepala tetap menunduk, tapi matanya tertuju
pada anaknya. Reynolds meletakkan tangannya kembali ke pangkuan. Ali tersenyum
dan berpikir setidaknya ibunya melihat bahwa, Reynold tidak selalu bisa meloloskan
sesuatu, seperti mendahului mencomot paha kalkun.
“Terima kasih atas semua berkah dan
berkumpulnya keluarga kami pada malam Natal ini serta untuk mereka yang jauh.”
ucap Caroline. Semua menganggukkan kepala mengamini.
“Dan semoga acara George berjalan lancar
dan sukses besar.” tambahnya tersenyum.
Ketika semua kerabat mulai
menikmati makanan di meja, Caroline bertanya apakah mereka menyukai musik yang
barusan ia putar.
“Musik
apa sih itu? Apakah Christmassy?” tunjuk Bibi Lurline.
“Ini album Broadway ‘Kismet’
pertunjukkan George.”jawab Caroline.
“Kiss apa?” tanya Paman Mack sambil
mencocol kentang. Tangannya
membentuk corong ke telinganya agar bisa mendengar dengan baik.
“Kismet itu nama pertunjukan
George. Pembukaannya baru beberapa minggu lalu di Broadway.”
“Betapa konyol nama pertunjukan itu. “Kismet artinya apa sih?”
tanya Bibi Lurline.
“Artinya sesuatu seperti takdir
atau nasib dan semacamnya lah. Coba dengarlah musiknya.” mohon Caroline.
“Nah, kenapa tak disebut ‘Takdir’
saja ‘Kismet’ terdengar asing di telingaku.” tambah Bibi Lurline mencela. Ali
memandang bibi tua dan menduga pasti ada sesuatu yang tak disukainya. Ia selalu
menemukan kesalahan dalam hal apapun.
Ali ingat, satu lagu favoritnya pada
rekaman itu adalah “Rhymes have I” dimana ada lirik “unta adalah binatang mamalia.”
Caroline menyerah memainkan musik
‘Kismet’. Ia menyalakan radio untuk mencari saluran yang memutar lagu-lagu
Natal. Lalu duduk di meja sekali lagi dan menyeka keningnya dengan serbet .
“Hidangan yang nikmat Caroline,
terlalu sayang George melewatkan ini.” kata Nenek Agnes sembari meletakkan cranberry
ke piringnya.
“Jadi di mana dia sekarang?” tanya
Paman Mack berusaha fokus menyimak sehingga ia bisa mendengar.
“Dia di kota New York .” jawab
Caroline .
“Eh, dimana tadi kau bilang?” tanya
Paman Mack lagi.
“KOTA NEW YORK” seru Caroline hingga
Paman Mack bisa mendengarnya. Ali menggumam pelan “Kota New York ”.
“Dimana itu Bu?”
“Tempat yang jauh.” kata Caroline
sendu. “Nanti ibu tunjukkan di globe, Sayang.”
“Huh, tak habis pikir bagaimana kamu
bisa ditinggal sendirian untuk merawat anak-anak. Sementara dia pergi keliling
kota untuk bernyanyi. Belum pernah kujumpai hal semacam itu. Sebuah keluarga
itu seharusnya selalu bersama-sama.” dengus Bibi Lurline.
“Ia punya suara yang bagus.
Menyanyi di Broadway itu merupakan cita-citanya sejak lama.” jelas ibu Ali.
“Ya, aku ingat.” kata Nenek Agnes.
“Hari dimana Ali lahir ketika ia mengumumkan mendapat pekerjaan untuk menyanyi.”
lanjut Bibi Agnes menyiratkan
seolah-olah menyanyi adalah pekerjaan yang buruk.
“Kau ingat Caroline, seharusnya kau
memperingatkan bahwa Ali itu baru saja lahir.” Nenek Agnes menambahkan seraya menatap
Ali seakan-akan dia adalah alasan George ingin pergi. Ali menundukkan kepalanya,
terngiang-ngiang disana kata-kata Nenek Agnes yang “Hari itu adalah dimana Ali baru saja lahir.”
Tiba-tiba Caroline mengucap
sangat keras dengan sedikit kesal. “Selamat Natal semua!!!” Keluarga Caroline
saling memandang dan berhenti bertanya tentang George. Ali memperhatikan bagaimana
kerabatnya langsung terdiam, dan mulai berkonsentrasi pada makan, bukannya mengobrol.
Setelah makan malam , semua orang
pindah ke ruang tamu untuk mencari tempat yang lebih nyaman untuk membuka
hadiah Natal. Ali membuka bungkusan hadiah dan tersenyum pada setiap orang, memberi
pelukan dan mengucapkan terima kasih. Tapi yang dipikirkannya adalah mengapa
ayahnya meninggalkannya saat ia baru lahir.
Malam itu ketika Ali hendak tidur,
ia memegang Smokey Bearnya sangat erat sambil melihat beberapa bintang yang
bertaburan di langit melalui jendela kamar tidurnya yang mungil. Pikirannya campur
aduk antara mendengar lagu Santa dan menebak-nebak dimanakah “kota New York? setiap
hari ia begitu sibuk bermain dan tak terpikir tentang hal-hal seperti….kenapa
ia harus di asrama selama seminggu, kenapa ayahnya tak pernah di rumah dan
kenapa ibunya kadang-kadang tampak sedih. Tapi, ketika hari hampir larut saat berbaring
di tempat tidur, ia mulai berpikir tentang hal-hal itu. Syukurlah, Smokey Bear
ada bersamanya untuk dipeluk.
“Rhymes Have I” Ali bernyanyi
perlahan ketika ia mulai mengantuk, bayangan
tentang foto ayahnya di dekat pohon natal bercampur dengan Smokey Bear yang
berkata “Hanya kamu yang mampu mencegah kebakaran hutan” dan kepala Reynolds
yang melongok ke bawah saat ia bermain
di sungai juga Santa, Rudolph dan semua rusa yang terbang di langit malam di
atas River Street.
Dengan mengantuk, lembut ia gumamkan
doa yang membuatnya terasa lebih istimewa karena malam natal.
“Tuhan, tolong satukanlah Ibu,
Ayah, Reynolds dan aku agar bisa terus bersama-sama. Dimana kami semua bisa
hidup di tempat yang sama sepanjang minggu.”
Beserta dengan harapan itu, mata
Ali tertutup dan Smokey perlahan-lahan jatuh dari dekapannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar