Tubuhnya masih tertahan di hamparan
sajadah lusuh berbalut mukena aus, tangannya menengadah dengan mulut
komat-kamit. Kali ini lebih lama dari
biasanya. Dalam permohonannya pada Tuhan, aku tahu namaku yang terus dimintakan
ijabah agar Sang Maha Kuasa berbaik hati memudahkan segala cita-citaku, lebih
tepatnya keinginan ibu. Ya, ia yang sedang merayu Tuhan dengan merapal
puji-pujian dan doa sapu jagad sebagai penutup pintanya. Lalu matanya beralih
padaku.
“Semoga
awal puasa nanti dapat panggilan dari salah satu sekolah yang kamu lamar.
Apalagi kalau keterima di SMA I. Seneng ibu Nduk.
Jadi guru disitu masa depan terjamin, ndak
apa-apa wiyata bakti dulu, lama-lama kan bisa diangkat jadi PNS. Wah, kalau
kamu pensiun jadi punya tabungan. Kalau kayak ibu ini siapa yang mau kasih
pensiun, buruh tani bisa menyekolahkan kamu sampai sarjana saja sudah bagus.”
Ujarnya panjang lebar. Aku tersenyum dan mengangguk-ngangguk saja.
“Ayo
kita bersih-bersih kubur bapakmu. Sapu sama buku Yasin jangan lupa dibawa Tik.
Ibu mau wudlu lagi, tadi sudah kentut, hehehe.” Katanya terkekeh. Aku berlalu
darinya. Menyembunyikan bulir-bulir air mata yang terdesak keluar. Ibu sungguh tak
tahu bahwa sebenarnya tak ada satu pun lamaran kuajukan ke sekolahan. Aku tak ingin
jadi guru Bu. Ibu, mohon ampuni aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar