Aku tidak pernah membayangkan menjadi santri sebelumnya, hidup di pesantren, mengaji sesering mungkin dan menjadi seorang yang alim. Tapi itulah yang terjadi, aku masuk pesantren tepat setelah lulus kelas enam Madrasah Ibtidaiyah. Tak ada tangis ketika hendak berangkat ke Jawa Barat, tempat dimana akan kutempa ilmu yang entah berapa lama. Ah sudahlah, ini memang harus kujalani sekalipun tak suka.
Bis telah memasuki areal parkir pesantren, lelah tak terperi, barang bawaan bergelantung di pundakku dan kakakku tentunya. Calon santri berhamburan keluar bus dengan muka lecek dan bau khas matahari bocah. Aku menepi di bawah pohon nan rindang di atas rumput hijau nan segar. Namun, tiba-tiba seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku. Orang itu mengangkat alis tangannya menunjuk ke arah kananku. “DILARANG MENGINJAK RUMPUT” “What the hell?” batinku tertera besar-besar tanpa kutahu. Dengan malas kuayun langkah keluar dari rumput yang bak putri raja itu.
Setelah itu kami digiring menuju tempat yang akan kami tinggali untuk proses panjang test sebagai calon santri, ternyata tak lain adalah sebuah gedung pembelajaran yang disulap menjadi tempat tidur beralas karpet, ditempati berpuluh-puluh anak. And finally aku kebagian di bawah wastafel ..that’s great babe oh no. Menyedihkan!!!
Hari pertama tes dimulai, sesi itu adalah wawancara, dimana sebelumnya aku sudah diwanti-wanti, jika ditanya “Sekolah di sini atas keinginan siapa?”maka jawabannya adalah keinginan diri sendiri. Entah apa yang terjadi jika jawabannya disuruh ortu, ato siapalah. Ah kali ini harus benar-benar menjadi anak berbakti. Hmm…usut punya usut ternyata jika jawabannya seperti itu bisa sangat mungkin sekali kamu tidak akan lulus menjadi dan gagal menjadi santri. Jawaban itu seperti sudah tersugesti dan terprogram dari alam bawah sadar. Kutunggu pertanyaan yang tak kunjung terlontar itu.
“Jadi mau tinggal disini berapa tahun ?” tanya pak pewawancara sambil menenggak minuman yang tak lain adalah teh. Masygul aku dibuatnya. Ah masa bodoh.
“Lima belas tahun jawabku sekenanya”
“Bener nih lima belas tahun, ok pertanyaan terakhir” dan sudah dipastikan pertanyaan klise yang tersadap oleh wali murid, yang tadi kunyatakan diatas akhirnya terlontar dari mulut pewawancara. Dan sesi wawancara pun berakhir
Selanjutnya adalah test hafalan juz’amma. Bagiku mungkin ini cukup mndebarkan. Temanku sudah mengantongi nilai jazid. Yang penting lancar surat At-tiin, dijamin beres. Ah syukurla,h surat yang paling kuhafal diantara surat panjang lainnya. Finally jazid kudapat, tandanya adalah baik, artinya tidak sangat baik dan tidak buruk tentunya, tengah-tengahlah menjadi kebanyakan orang.
Lapar mulai menggerogoti perutku. Kulihat sekeliling, tak ada makanan yang menarik. Kecuali kue bertuliskan bagelen disana. Ah, rasanya sudah bosan. Memakan roti yang aslinya basah itu lalu dikeringkan. Kuingat besok adalah tes tertulis, aku tidak tahu apakah harus belajar atau tidak. Rasanya semenjak mengenyam bangku sekolahan belajar kuartikan sebagai kegiatan menekuri buku hingga tahu persis isisnya, bahkan hafal apa yang ada di dalamnya. Dan aku tidak pernah menlakukan itu selama sekolah. Hanya melakukan skimming atau scanning alias membaca singkat. Dan hasilnya bisa ditebak, menjadi tengah-tengah adalah langgananku. Yah, seperti kubilang tadi, menjadi orang kebanyakan. Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sedih untuk saat ini, masa depan hanya samar-samar bagiku. Mungkin senang karena akhirnya aku bisa sekolah jauh dari tempat tinggalku, Sedih karena aku tidak terbiasa jauh dari keluargaku. Aku memang anak kecil, yang tidak bisa mengartikan apapun tanpa melihat kenyataan. Tak ada yang istimewa, sungguh tak ada.
Tes tertulis dimulai, sedikit terlambat dari waktu yang telah ditentukan. Rasanya lumrah saja dimaklumkan sejak dahulu kala. Soal dibagikan, kubaca, setengah rasanya mudah, seperempat ragu, sisanya dipastikan jawabannya ngawur. Assalamu’alaikum, tulislah menggunakan huruf arab. Begitu perintah di kertas soal. Aku yang terbiasa menyerap sesuatu setengah-setengah hanya bisa menyesali kalau jawabanku tidak sempurna. Aku tidak tahu bagaimana menyambung huruf alif dengan sin, maka aku menulis hurufnya terpisah-pisah hingga akhir. Setelah dewasa baru kutahu memang alif dan sin itu tidak bisa digabung.
Tes ini adalah tes terakhir dari serangkaian tes yang ada sebagai syarat masuk sekolah ini.dan besok adalah kepulangan wali santri. Aku akan berpisah dengan kakakku. Hanya itu yang kubayangkan. Dan aku sendiri, berusaha mengenal orang-orang yang mungkin akan menjadi teman dekatku. Rasanya malas sekali, mengurus apapun sendiri. Kakakku membelikan apa yang akan kubutuhkan nanti, sebelum dia pulang, kupandangi ia, mengemas barang-barangku karena bersamaan itu kami ditempatkan di asrama santri tentunya setelah pengumuman kelulusan esok hari sekaligus penempatan kelas.
Esok haripun tiba, kucari-cari namaku diantara nomor urut pendaftarankuu , tepat, aku mendapatkan kelas tengah-tengah. Hah bosan sekali rasanya.
Semua wali santri sudah bersiap untuk pulang. Rasa sedih mulai menghinggapiku. Aku benci sendiri, rasanya aku ingin menangis, tapi aku malu.
Kami melepas orang-orang yang mengantar kami dalam keadaan pilu. Semua santri kulihat menangis tak sedikit yang meraung-raung minta diajak pulang kembali., sebagian menyeka air mata dan sisanya terlihat tegar seperti aku. Walaupun sakit sekali rasanya ditinggal. Masa orientasi sekolah dimulai, pengenalan selama seminggu hanya ada dua kejadian yang kuingat. Pertama aku haid tanpa disadari. Aku sungguh tidak bisa mengatasi ini sendiri. Mulutku pun diam tanpa tahu harus berkata apa, karpet yang kududuki sudah basah dengan darah, sungguh aku panik bukan kepalang, hanya handuk kecil yang kubawa dan akupun tidak tahub harus berbuat apa dengan benda itu.
Selesai orientasi kami kembali ke asrama. Dalam perjalanan kututupi celanaku panjangku yang telah memerah dengan handuk itu. Rasanya merana sekali dengan apa yang terjadi padaku. Rasa lelah, sedih, dan bingung membuatku menangis, spontan teman di sampingku bertanya dan memberitahukan apa yang terjadi pada wali kelas kami. Aku sangat malu, malu karena celanaku belepotan, malu karena semua orang memandangku untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, malu karena aku dimarahi wali kelas, karena tak membuka mulut untuk sekedar minta tolong. Aku seperti menjadi bulan-bulanan perhatian beberapa hari ini. Hah..malasnya. sudah lama aku menunggu kapan saatnya pindah ke asrama. Rasanya sudah tak sabar memulai hidup normal sebagai santri. Belajar, mengaji, berkumpul dan sekolah. Wali kelasku mangabarkan penempatan kamar malam nanti. Sumbang-sumbang kudengar jika anak-anak yang pendek. Yah, seperti aku ini akan ditempatkan di lantai lima. Ah, peduli amat. Lantai paling atas. Uh..sadis sekali. Dengan dalih jika sering naik turun maka diharapkan orang akan cepat bertambah tingginya. Benarkah itu. Dan malam itupun tiba, semua anak berkumpul dan membentuk lingkaran berjejal menghadap dua wali kelas kami. Dengan seksama Bu guru mengucapkan nama pertama sesuai abjad dan kebetulan A menjadi huruf awal namaku. Adetia maka kudenagarkan ia menyebut kamar nomor lantai tiga berarti yang dikatakan orang-orang tentang jika yang pendek di lantai lima itu adalah salah besar buktinya aku mendapat lantai yang lumayan tidak tinggi.
“Aditya Meilia!” what!! aku tersentak dan menajamkan pendengaranku. “533!” what! lalu tadi siapa. Kupikir nama aditya hanya aku. Oh, ternyata.
Bener deh, anak imut nan lucu kayak aku lantai lima.uh… sedihnya.